Kamis, 07 Januari 2016

Perkembangan Teori Etika Sampai Saat Ini

Etikbisnis - Perkembangan Teori Etika Sampai Saat Ini, Perkembangan wacana etika, sampai saat ini, tidak dapat dilepaskan dari berbagai pemikiran atas etika yang telah berlangsung berpuluh-puluh abad lalu di Yunani.Pemikiran awal tentang etika dapat ditelusuri dari:


- Murid-Murid Pytagoras (570-496 SM)
Badan merupakan kubur jiwa, sehinggan jika manusia menginginkan jiwanya bebas dari badan maka perlu menumpuh jalan pembersihan. Jalan ini adalah bertapa dan bekerja secara rohani, terutama dengan berfilsafat dan bermatematika serta menyertakan musik dan gimnastik sebagai penertib dan penyelarasnya.

- Democritus (460-371 SM)
Aturan kehidupan bahwa manusia hendaknya mengusahakan keadilan. Menurut Democritus nilai tertinggi dalam kehidupan adalah pencapaian pada apa yang enak (yang kemudian menjadi sebuah kerangka untuk berkembangnya hedonisme).

- Kaum sofis (kaum bijak tetapi dikenal kurang baik pada jaman Yunani Klasik)
Baik dan buruk lebih merupakan masalah keputusan masing-masing atau kesepakatan bersama dari pada suatu aturan abadi. Sampai-sampai salah satu dari mereka, Antiphon menyatakan bahwa hukum boleh dilanggar dengan tenang asal tidak ada yang melihatnya. Namun pandangan ini kemudian dipatahkan oleh Socrates.

- Socrates (469-399 SM)
Socrates yakin bahwa orang akan berbuat benar apabila ia mengetahui apa yang baik baginya. Perbuatan salah akibat kurang cerahnya pengertian diri manusian. Ia mau mengantar orang agar mengerti diri sendiri dan dengan demikian lepas dari kedangkalannya.

- Plato (427-348 SM)
Realitas yang sebenarnya bersifat rohani (jiwa) dan disebutnya idea. Puncak kesadaran filosofis tertinggi dalam idea ini adalah idea yang baik. Idea yang baik adalah Sang Baik itu sendiri dan Sang Baik ini adalah tujuan dari segala yang ada, yaitu Yang Ilahi.

- Aristoteles (384-322 SM)
Hidup yang baik bagi manusia adalah apabila ia mencapai apa yang menjadi tujuannya. Dengan mencapai tujuannya, maka manusia telah mencapai dirinya dengan sepenuhnya. Apapun tujuana hidup manusia adalah demi sesuatu yang baik dan bernilai.

Teori etika dapat disebut sebagai gambaran rasional mengenai hakekat dan dasar perbuatan dan keputusan yang benar serta prinsip-prinsip yang menentukan klaim bahwa perbuatan dan keputusan tersebut secara moral diperintahkan dan dilarang.Dalam hal ini teori etika lahir dari berbagai aliran pemikiran etika dalam rangka mengkaji moralitas suatu tindakan yang berkembang sedemikian luasnya. Pencarian teori etika yang sepenuhnya memuaskan merupakan usaha yang tidak akan pernah selesai, karena tidak akan pernah ada suatu teori etika yang dapat sepenuhnya disepakati oleh semua orang. Sejak awal perkembangan filsafat etika, maka dua pendekatan dasar moral etika telah timbul.

Satu pendekatan mendasarkan argumentasi pada akhir yang terjadi.Pendekatan ini disebut teleological approach, dimana yang paling menonjol adalah versi consequentialsm, yang berpendapat bahwa apakah suatu tindakan benar ataupun salah tergantung pada konsekuensi yang ditimbulkan. Bentuk yang umum dari versi consequentialism adalah utilitarianisme.

Pendekatan yang lain disebut deontological approach, yang berpendapat bahwa tugas atau kewajiban (duty) adalah kategori moral dasar dan bahwa kewajiban tidak tergantung pada konsekuensi yang ditimbulkannya. Termasuk dalam pertimbangan pendekatan ini adalah pertimbangan akan kewajiban moral, hak (rights), dan keadilan (justice). Selain itu dalam perkembangannya muncul teori etika keutamaan (virtue ethics) dengan pendekatan yang tidak melihat sisi moral suatu tindakan, tetapi memfokuskan pada manusia sebagai pelaku moral yang memiliki keutamaan-keutamaan (virtue) yang membedakan manusia dengan makhluk hidup lainnya yang memungkinkan manusia untuk bertindak sesuai dengan tujuan spesifik sebagai manusia. Penjelasan mendalam mengenai teori-teori etika, adalah sebagai berikut:

1. Teori Utilitarianisme
Kemunculan teori utilitarianisme merupakan pengembangan dari pemahaman etika teleologi yang dikembangkan terutama oleh tokoh-tokoh besar pemikiran etika dari Eropa seperti Jeremy Bentham (1748-1832) dan John Stuart Mill (1806-1873)(Ludigdo, 2007). Etika teleologi ini, juga dikenal sebagai etika konsekuensialisme, yang memiliki pandangan mendasar bahwa suatu tindakan dinilai baik atau buruk berdasarkan tujuan atau akibat dilakukannya tindakan tersebut. Namun dalam pemahamannya tidak mudah untuk menilai baik buruknya tujuan atau akibat dari suatu tindakan dalam kerangka etika, sehingga muncullah varian darinya yaitu egoisme dan utilitarianisme. Etika egoisme menilai baik buruknya tindakan dari tujuan dan manfaat tindakan tersebut bagi pribadi-pribadi. Pada akhirnya egoisme cenderung menjadi hedonisme, karena setiap manfaat atas suatu tindakan pribadi-pribadi yang berdasarkan kebahagian dan kesenangan demi memajukan dirinya sendiri tersebut biasanya bersifat lahriah dan diiukur berdasarkan materi.

Sementara itu utilitarianisme berkebalikan dengan dari egoisme. Utilitarianisme atau utilitarisme yang berasal dari kata Latin utilis yang berarti “bermanfaat”, berpandangan bahwa suatu perbuatan atau tindakan adalah baik jika membawa manfaat, tapi manfaat itu harus menyangkut bukan saja satu dua orang melainkan masyarakat sebagai keseluruhan. Jadi utilitarianisme ini tidak boleh dimengerti dengan cara egoistis. Konsep dasar moral untuk menentukan baik buruknya suatu perbuatan menurut pemikiran utilitarianisme adalah the greatest happiness of the greatest number, kebahagian terbesar dari jumlah orang terbesar. Sehingga perbuatan yang mengakibatkan paling banyak orang merasa senang dan puas adalah perbuatan yang terbaik.

Beberapa pandangan yang mendukung teori ini, menyatakan bahwa daya tarik pendekatan utilitarian terutama didasarkan pada nilai-nilai positif dari etika ini, yaitu rasionalitas, kebebasan, dan universalitas. Pertama, prinsip moral dari etika utilitarianisme yang didasarkan pada kriteria yang rasional, memungkinkan dasar yang jelas dan langsung untuk formulasi maupun menguji kebijakan atau tindakan. Dalam hal ini utilitarian tidak meminta kita untuk menerima aturan, kebijakan, atau prinsip tanpa alasan. Tetapi, meminta kita untuk menguji nilainya secara rasional terhadap standar manfaat. Kedua, utilitarianisme mengasumsikan kebebasan setiap orang dalam berperilaku dan bertindak. Kebebasan yang dimaksud dalam hal ini kebebasan memilih alternative tindakan yang dirasa memberikan manfaat sesuai dengan konsep the greatest happiness of the greatest number.

Setiap orang bebas dalam berperilaku dan bertindak sesuai dengan pemikirannya sendiri, yang dilandasi dengan dasar kriteria yang rasional – dalam hal ini standar manfaat. Keistimewaan yang ketiga adalah universalitasnya. Etika utilitarianisme mengutamakan manfaat atau akibat dari suatu tindakan bagi banyak orang, dan kriteria ini dapat diterima dimana saja dan kapan saja.

Terlepas dari daya tariknya, teori utilitarianisme juga mempunyai kelemahan, antara lain:

- Manfaat merupakan konsep yang kompleks sehingga penggunaannya sering menimbulkan kesulitan. Masalah konsep manfaat ini dapat mencakup persepsi dari manfaat itu sendiri yang berbeda-beda bagi tiap orang dan tidak semua manfaat yang dinilai dapat dikuantifikasi yang berujung pada persoalan pengukuran manfaat itu sendiri.

- Utilitarianisme tidak mempertimbangkan nilai suatu tindakan itu sendiri, dan hanya memperhatikan akibat dari tindakan itu. Dalam hal ini utilitarianisme dianggap tidak memfokuskan pemberian nilai moral dari suatu tindakan, melainkan hanya terfokus aspek nilai konsekuensi yang ditimbulkan dari tindakan tersebut. Sehingga dapat dikatakan bahwa utilitarianisme tidak mempertimbangkan motivasi seseorang melakukan suatu tindakan.

- Kesulitan untuk menentukan prioritas dari kriteria etika utilitarianisme itu sendiri, apakah lebih mementingkan perolehan manfaat terbanyak bagi sejumlah orang atau jumlah terbanyak dari orang-orang yang memperoleh manfaat itu walaupun manfaatnya lebih kecil.

- Utilitarianisme hanya menguntungkan mayoritas. Dalam hal ini suatu tindakan dapat dibenarkan secara moral sejauh tindakan tersebut menguntungkan sebagian besar orang, walaupun mungkin merugikan sekelompok minoritas. Dengan demikian, utilitarianisme dapat dikatakan membenarkan ketidakadilan, yaitu bagi kelompok yang tidak memperoleh manfaat.
Mengingat disatu pihak utilitarianisme memiliki keunggulan dan nilai positif yang sangat jelas, tetapi di pihak lain punya kelemahan-kelemahan tertentu yang sangat jelas pula, karena hal inilah muncul berbagai perdebatan atas kelemahan tersebut, maka diusulkan utililtarsime dibedakan menjadi dua macam Salah satu pendekatan untuk menyelesaikan permasalahan tersebut adalah dikenalkannya pembedaan antara utilitarianisme-aturan (rule-utilitarian), dan utilitarianisme-tindakan (act-utilitarian) (Bertens, 2000).

Utilitarian-tindakan berpendapat bahwa prinsip dasar utilitarianisme (manfaat terbesar bagi jumlah orang terbesar) diterapkan dalam perbuatan. Prinsip dasar tersebut dipakai untuk menilai kualitas moral suatu perbuatan. Sedangkan utilitarian-aturan berpendapat bahwa suatu aturan moral umum lebih layak digunakan untuk menilai suatu tindakan. Ini berarti yang utama bukanlah apakah suatu tindakan mendatangkan manfaat terbesar bagi banyak orang, melainkan yang pertama-tama ditanyakan apakah tindakan itu memang sesuai dengan aturan moral yang harus diikuti oleh semua orang.

Jadi manfaat terbesar bagi banyak orang merupakan kriteria yang berlaku setelah suatu tindakan dibenarkan menurut kaidah moral yang ada. Oleh karena itu, dalam situasi dimana kita perlu mengambil kebijakan atau tindakan berdasarkan teori etika utilitarianisme, perlu menggunakan perasaan atau intuisi moral kita untuk mempertimbangkan secara jujur apakah tindakan yang kita ambil memang manusiawi atau tidak terlepas dari perbedaan persepsi akan konsep manfaat itu sendiri, apakah kita membenarkan tindakan dengan manfaat yang telah kita perkirakan itu.

2. Teori Deontologi – Kewajiban Moral
Aliran besar pemikiran etika kedua adalah deontologi.Tokoh besar aliran ini adalah Immanuel Kant (1724-1804) (Ludigdo, 2007), sehingga disebut juga sebagai Kantianisme.Istilah deontogi sendiri berasal dari kata Yunani “deon” yang berarti kewajiban (Bertens, 2000).

Pandangan dasar dari pemikiran etika deontologi ini adalah bahwa penilaian baik atau buruknya suatu tindakan didasarkan pada penilaian apakah tindakan itu sendiri sebagai baik atau buruk.Sehingga dapat dikatakan bahwa pendekatan deontologi ini berbeda dalam prinsipnya dengan utilitarianisme yang berpendapat bahwa moralitas suatu tindakan tergantung pada konsekuensinya.

Immanuel Kant sebagai filsofis penting dalam memperkenalkan pendekatan deontologi ini, mengemukakan pandangannya bahwa suatu perilaku atau tindakan yang benar, bila dilakukan berdasarkan “imperatif kategoris” (Bertens,2000). Imperatif kategoris berarti mewajibkan yang tidak tergantung pada kondisi atau syarat apapun.Dari pernyataan tersebut, secara sepintas dapat disimpulkan bahwa konsep dasar imperatif kategoris yang dikemukakan oleh Kant yang menjadi landasan pendekatan deontologi, memiliki penilaian moral yang berbeda dengan konsep dasar utilitarianisme yang lebih memfokuskan konsep nilai-nilai moral pada pencapaian manfaat.

Selain itu Kant juga mengatakan, bagi hukum yang terpenting adalah legalitas perbuatan, artinya segi lahiriah perbuatan. Di dalam hukum yang dinilai adalah apakah suatu perbuatan bertentangan dengan hukum atau tidak. Sedangkan dalam konteks etika, legalitas suatu perbuatan tidak cukup, tapi harus diperhatikan juga moralitas perbuatan. Moralitas tidak terbatas dari segi lahiriah perbuatan tapi meliputi juga segi batinnya, artinya motif mengapa perbuatan itu dilakukan.

3. Teori Hak dan Keadilan
Teori hak ini memiliki kaitan erat dengan teori deontologi, karena hak berkaitan dengan kewajiban. Kewajiban seseorang biasanya diikuti juga dengan hak dari orang lain. Hak didasarkan atas martabat manusia dan martabat semua manusia itu sama. Maka, teori hak pun cocok diterapkan dengan suasana demokratis. Dalam arti, semua manusia dari berbagai lapisan kehidupan harus mendapat perlakuan yang sama. Seperti yang diungkapkan Immanuel Kant, bahwa manusia meruapakan suatu tujuan pada dirirnya (an end in itself). Karena itu manusia harus selalu dihormati sebagai suatu tujuan sendiri dan tidak pernah boleh diperlakukan semata-mata sebagai sarana demi tercapainya suatu tujuan lain (Bertens, 2000).

4. Teori Etika Keutamaan
Pendekatan-pendekatan yang telah dibahas, baik utilitarian ataupun deontologi kewajiban, hak, keadilan semuanya memfokuskan terutama pada suatu prinsip atau norma. Kalau sesuai dengan norma, suatu tindakan adalah baik, kalau tidak sesuai, tindakan itu buruk, terlepas dari fokus norma yang melandasinya. Disamping teori-teori ini, ada suatu pendekatan lain yang tidak melihat tindakan, akan tetapi memfokuskan pada manusia sebagai pelaku moral.

Teori ini adalah teori keutamaan (virtue) yang memandang karakter moral orang (Satyanugraha, 2003).
Keutamaan berasal dari terjemahan kata virtue yang sebenarnya berarti kebajikan, namun terjemahan yang paling dekat dengan kata arete yang dipakai Aristoteles maka berarti keutamaan. Menurut Aristoteles, keutamaan moral adalah kebiasaan yang memungkinkan manusia untuk bertindak yang sesuai dengan tujuan spesfiknya sebagai manusia. Agar manusia dapat bertindak sesuai dengan tujuan spesifiknya sebagai manusia, tentunya manusia dibekali dengan akal yang membedakan manusia dengan makhluk lain. Dengan menggunakan akal ini, manusia dapat berpikir secara rasional untuk mempertimbangkan segala sifat-sifat keutamaannya sebagai seorang manusia dalam menjalani hidup. Oleh karena itu, keutamaan (virtue) dapat didefinisikan sebagai watak yang telah dimiliki seseorang dan memungkinkannya untuk bertingkah laku baik secara moral (Bertens, 2000 dalam Satyanugraha, 2003) Seseorang yang baik adalah hidup menurut keutamaan. Hidup yang baik adalah virtous of life (hidup keutamaan).

5. Teori Etika Religius
Pemikir besar Eropa dari kalangan Kristen adalah ThomasAquinas (1225-1274). Menurut aquinas, Tuhan adalah tujuan akhir manusia, karena Ia adalah nilai tertinggi dan universal, dan karenanya kebahagiaan manusia tercapai apabila ia memandang Tuhan.

Dalam perspektif religius pemikiran etika cenderung melepaskan kepelikan dialektika atau metodologis dan memusatkan pada usaha untuk mengeluarkan spirit moralitas islam denga cara lebih langsung berakar pada AL-Qur’an dan Sunnah. Dalam diskusi ini pengetahuan dan perbuatan menjadi unsur pencapain kebahagiaan. Sumber utama pengetahuan adalah Tuhan yang telah menganugerahkannya kepada manusia melalui berbagai cara. 

Well, itulah beberapa materi tentang perkembangan teori etika sampai saat ini yang saya tulis dalam blog ini. Semoga materi ini bermanfaat bagi anda yang membacanya.

Share this

Artikel Terkait

Perkembangan Teori Etika Sampai Saat Ini
4/ 5
Oleh

Berlangganan

Suka dengan artikel di atas? Silakan berlangganan gratis via email